bergasmedia – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami penurunan yang signifikan dalam beberapa waktu terakhir. Setelah sempat berada di angka Rp16.700 pasca-Lebaran, pada Senin, 7 April 2025, rupiah tercatat menembus level Rp17.200 per dolar AS.
Mengacu pada data Refinitiv, hingga pukul 11.43 WITA, nilai tukar rupiah tercatat di angka Rp17.261. Angka ini menjadikannya salah satu penurunan nilai tukar terburuk dalam sejarah ekonomi Indonesia.
Tren Pelemahan Rupiah
Sebagai perbandingan, pada Kamis, 27 Maret 2025, sebelum libur Lebaran, nilai tukar rupiah masih berada di level Rp16.555. Dalam waktu kurang dari dua minggu, rupiah mengalami pelemahan yang cukup tajam. Tren pelemahan ini semakin terlihat pada hari yang sama, saat rupiah sempat berada di kisaran Rp16.904 per dolar AS. Data ini menunjukkan adanya tekanan besar terhadap mata uang Indonesia, yang dipicu oleh faktor-faktor eksternal yang tidak dapat dihindari.
Pelemahan rupiah ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga berdampak pada negara-negara berkembang lainnya, terutama di kawasan Asia. Hal ini berkaitan erat dengan kebijakan proteksionis yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memberlakukan tarif impor tambahan dan menutup sejumlah akses perdagangan ke kawasan Asia. Kebijakan ini, yang dikenal dengan nama kebijakan tarif impor, menimbulkan dampak yang cukup besar terhadap perekonomian negara-negara mitra dagang AS, termasuk Indonesia.
Kebijakan Proteksionisme AS dan Dampaknya
Kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh AS di bawah kepemimpinan Donald Trump telah memberikan tekanan besar terhadap ekonomi global. Salah satu langkah utama yang diambil adalah pemberlakuan tarif impor yang tinggi terhadap berbagai produk dari negara-negara mitra dagangnya. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk melindungi industri domestik AS dari persaingan yang dianggap merugikan. Dalam prakteknya, tarif impor ini berdampak langsung pada ketegangan perdagangan antara AS dan negara-negara besar lainnya, termasuk China.
Di kawasan Asia, kebijakan ini mempengaruhi Indonesia secara signifikan. Negara ini dikenakan tarif impor tambahan sebesar 32 persen, yang menyebabkan lonjakan harga barang-barang impor dan mengurangi daya beli masyarakat. Selain Indonesia, negara-negara ASEAN lainnya juga tidak luput dari dampak kebijakan proteksionisme ini. Thailand, misalnya, dikenakan tarif impor sebesar 36 persen, sementara Vietnam menghadapi tarif yang lebih tinggi lagi, yakni 46 persen.
Kebijakan proteksionisme AS juga memengaruhi negara-negara sekutu Amerika Serikat. Uni Eropa dikenakan tarif sebesar 20 persen, Jepang 24 persen, dan Korea Selatan 25 persen. Meskipun negara-negara ini dianggap sebagai sekutu utama AS, kebijakan tarif yang diterapkan tetap memberikan dampak besar terhadap perdagangan internasional dan perekonomian mereka.
Baca Juga : Dominasi Kendaraan Listrik China Di Dunia, BYD Geser Tesla?
Dampak terhadap Perekonomian Global
Jika tren pelemahan rupiah ini terus berlanjut, para ekonom memperingatkan bahwa dampaknya akan terasa luas tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di tingkat global. Salah satu ekonom yang memberikan peringatan tersebut adalah Robert Kiyosaki, penulis buku Rich Dad Poor Dad. Dalam unggahan di akun media sosial X miliknya pada 26 Maret 2025, Kiyosaki menyatakan, “Apakah dunia hari ini berada dalam resesi? Saya katakan ‘Ya’.” Pernyataan ini mencerminkan keprihatinan atas potensi resesi global yang dapat dipicu oleh ketegangan perdagangan dan kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh negara-negara besar seperti Amerika Serikat.
Jika resesi global terjadi, dampaknya akan sangat terasa pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Negara-negara ini biasanya sangat bergantung pada ekspor dan aliran investasi asing untuk menjaga stabilitas ekonomi. Jika kebijakan proteksionisme berlanjut, maka akses pasar internasional yang lebih terbatas dapat mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi.
Baca Juga : 10 Keluarga Terkaya di Dunia: Sumber Kekayaan dan Warisan Bisnis Mereka
Lebih jauh lagi, pelemahan rupiah yang tajam dapat mengakibatkan inflasi yang lebih tinggi, karena harga barang-barang impor akan menjadi lebih mahal. Hal ini bisa memperburuk daya beli masyarakat Indonesia, terutama yang bergantung pada barang-barang impor dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, sektor-sektor ekonomi yang bergantung pada ekspor juga akan merasakan dampak negatif, karena tarif impor yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Perbandingan dengan Krisis Ekonomi 1998
Salah satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa penurunan nilai tukar rupiah kali ini bahkan melebihi titik terlemah sepanjang sejarah. Pada saat krisis ekonomi 1998, rupiah sempat terperosok hingga Rp16.800 per dolar AS. Namun, dalam kondisi saat ini, rupiah telah menembus level Rp17.200, menunjukkan tingkat pelemahan yang lebih dalam. Hal ini tentunya menambah kecemasan tentang potensi dampak buruk terhadap perekonomian Indonesia jika kondisi ini tidak segera diatasi.
Prospek Pemulihan
Para ekonom dan pengamat pasar memprediksi bahwa pemulihan rupiah mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung pada bagaimana kebijakan internasional dan domestik berkembang. Salah satu langkah yang bisa diambil oleh pemerintah Indonesia adalah dengan mengoptimalkan kebijakan moneter dan fiskal untuk meredam dampak inflasi dan menjaga stabilitas ekonomi.
Di sisi lain, upaya untuk memperkuat ekonomi domestik dengan mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan daya saing produk dalam negeri juga perlu menjadi perhatian. Indonesia harus berusaha untuk mengurangi kerentanannya terhadap fluktuasi nilai tukar dengan memperkuat sektor-sektor ekonomi yang dapat berkontribusi pada pertumbuhan jangka panjang.
Baca Juga : Mobil Listrik Xiaomi SU7 Sudah Terjual Lebih dari 215 Ribu Unit dalam Setahun,Apa Kelebihannya?
Pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa minggu terakhir mencerminkan dampak dari kebijakan proteksionisme yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Kebijakan tarif impor yang tinggi menyebabkan ketegangan perdagangan internasional dan memberikan tekanan besar terhadap mata uang di kawasan Asia, termasuk Indonesia. Jika tren pelemahan ini terus berlanjut, dampaknya bisa sangat besar bagi perekonomian Indonesia dan global. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk segera mengatasi masalah ini dengan langkah-langkah yang tepat guna menjaga stabilitas ekonomi dan memitigasi dampak buruk yang mungkin timbul.