Berita

Keputusan Bersejarah! MK Hapus Ambang Batas 20% Presidential Threshold

31
×

Keputusan Bersejarah! MK Hapus Ambang Batas 20% Presidential Threshold

Share this article

bergasnet – Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan bersejarah dengan menghapuskan ketentuan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketentuan ini sebelumnya diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Putusan ini menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah hukum dan demokrasi Indonesia, yang diharapkan memberikan dampak besar pada pelaksanaan Pemilu mendatang.

Latar Belakang Keputusan MK

Keputusan ini dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Suhartoyo, dalam sidang pamungkas yang digelar pada Kamis, 2 Januari 2025. Sidang tersebut merupakan akhir dari proses panjang uji materi yang diajukan oleh beberapa pihak, termasuk Enika Maya Oktavia, yang terdaftar dalam perkara 62/PUU-XXII/2024. Dalam amar putusannya, Suhartoyo menyatakan bahwa norma Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca juga : Cara Mendaftar APLIKASI IKN NOW Mempermudah Akses Ke Ibu Kota Nusantara

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Suhartoyo dalam pembacaan putusan tersebut. MK juga memerintahkan agar putusan ini dimuat dalam berita negara Republik Indonesia untuk memastikan keberlakuannya.

Dasar Hukum Keputusan

Hakim MK Saldi Isra menegaskan bahwa Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang dijamin oleh UUD 1945. Prinsip tersebut meliputi persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil. Hal ini merujuk pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

Saldi Isra juga menambahkan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen telah membatasi partisipasi politik secara adil dan merata. “Dengan demikian, dalil para pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” pungkasnya.

Proses Gugatan

Perkara yang berujung pada putusan ini melibatkan empat pengajuan uji materi terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Selain Enika Maya Oktavia, perkara lainnya diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT) dengan nomor perkara 101/PUU-XXI/2024, Dian Fitri Sabrina dan kawan-kawan dengan nomor perkara 87/PUU-XXII/2024, serta Gugum Ridho Putra dengan nomor perkara 129/PUU-XXI/2023.

Dalam gugatannya, para pemohon menyoroti ketentuan yang mengharuskan partai politik atau gabungan partai politik untuk memiliki minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional sebagai syarat mencalonkan presiden. Menurut para pemohon, ketentuan ini tidak hanya diskriminatif tetapi juga merugikan hak politik warga negara yang ingin mencalonkan diri melalui jalur partai politik kecil atau independen.

Implikasi Keputusan

Penghapusan ambang batas pencalonan presiden ini diprediksi akan membawa perubahan signifikan dalam sistem politik Indonesia. Beberapa implikasi yang mungkin muncul antara lain:

  1. Peningkatan Partisipasi Politik Dengan dihapusnya presidential threshold, peluang partai politik kecil untuk mengajukan calon presiden menjadi lebih terbuka. Hal ini dapat mendorong munculnya lebih banyak kandidat yang beragam, sehingga memperkaya pilihan rakyat dalam pemilu.
  2. Kompetisi Lebih Sehat Keputusan ini diharapkan dapat menciptakan kompetisi politik yang lebih sehat. Tanpa hambatan ambang batas, setiap partai politik memiliki peluang yang sama untuk berkompetisi berdasarkan visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan.
  3. Demokrasi Lebih Inklusif Penghapusan ambang batas ini juga dianggap sebagai langkah menuju demokrasi yang lebih inklusif, di mana semua warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri atau mendukung calon presiden yang mereka inginkan.
  4. Potensi Fragmentasi Politik Meski banyak pihak mendukung keputusan ini, ada pula yang khawatir bahwa tanpa ambang batas, jumlah kandidat presiden dapat meningkat secara signifikan. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan fragmentasi suara dan memperpanjang proses pemilu.

Respons Publik

Keputusan MK ini mendapatkan berbagai tanggapan dari masyarakat dan aktor politik. Sebagian besar aktivis dan pengamat politik menyambut baik keputusan ini, dengan alasan bahwa aturan presidential threshold selama ini telah membatasi demokrasi. Di sisi lain, beberapa pihak dari partai politik besar menyatakan kekhawatiran bahwa keputusan ini dapat mengurangi stabilitas politik.

Pandangan Pengamat

Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Dr. Arief Wibowo, menyebutkan bahwa keputusan MK ini merupakan langkah maju bagi demokrasi Indonesia. “Ini adalah peluang bagi kita untuk memperbaiki sistem pemilu yang selama ini cenderung mendukung oligarki politik,” katanya.

Namun, Arief juga mengingatkan bahwa keberhasilan keputusan ini sangat bergantung pada kesiapan penyelenggara pemilu dan partai politik untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut. “Tanpa persiapan yang matang, potensi kericuhan dalam proses pemilu tetap ada,” tambahnya.

Kesimpulan

Keputusan Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan ambang batas pencalonan presiden adalah langkah besar dalam sejarah politik Indonesia. Meskipun masih ada tantangan yang harus dihadapi, keputusan ini memberikan harapan baru bagi terciptanya sistem politik yang lebih inklusif, adil, dan demokratis. Dengan lebih banyaknya kandidat yang dapat bertarung secara setara, rakyat Indonesia diharapkan dapat memiliki lebih banyak pilihan dalam menentukan pemimpin masa depan mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *